Model Mental HCI

Sejak adanya temuan-temuan yang dilakukan oleh para peneliti HCI tentang fungsionalitas sistem, yakni “apa yang diketahui oleh pemakai tentang sistem perangkat lunak komputer” dan usability sistem, yakni “apa yang harus dilakukan oleh pemakai terhadap sistem” mendorong perkembangan riset dalam HCI tersebut.
Riset yang dilakukan pada akhir-akhir ini mulai berfokus kepada jenis-jenis pengetahuan pemakai ketika ia menggunakan sistem komputer. Konsep model mental terhadap sistem adalah topik utamanya. Studi representasi pengetahuan yang berbasis komputer ini menghasilkan keuntungan-keuntungan antara lain studi ini bisa menggali basis perilaku teoritis, seperti perilaku khusus pemakai terhadap tugasnya.
Studi jenis ini juga berkaitan dengan representasi mental, maka diperlukan 3 Mental model. Pemakai dikatakan sudah memiliki model mental terhadap sistem apabila ia telah memahami bagaimana sistem itu bekerja, apa saja komponen sistem tersebut, bagaimana hubungannya, apa saja proses-proses internalnya, dan bagaimana operasi internal tersebut mempengaruhi komponen-komponennya[CAR90].
Ketepatan rancangan system image dari suatu sistem terhadap model mental pemakai adalah sangat penting. Jika sistem tersebut tidak bisa merepresentasikan model mental pemakai secara baik, maka interaksi yang terjadi antara sistem dan pemakai niscaya akan mengalami hambatan-hambatan. Pemakai akan tidak bisanyaman dalam menggunakan sistem tersebut, bahkan bisa terjadi kesalahpahaman,karena beban kognitif pemakai bertambah berat.
Oleh karenanya, dalam sistem antar muka biasanya masalah yang paling sering terjadi adalah kesenjangan antara model mental pemakai mengenai tugas dari sistem dengan keadaan riil dari sistem itu. Misalnya, pada waktu memulai suatu program, seorang pemakai sudah memiliki tujuan yang ingin dicapai dari interaksi yang dilakukan, yang mana tujuan ini ada didalam pikiran pemakai.
Di lain pihak, perancang atau pengembang program juga mempunyai tujuan sendiri dari sistem yang dikembangkannya. Bila tujuan dari pemakai dan tujuan dari perancang sistim itu berbeda jauh, maka disini biasanyaakan terjadi kesukaran atau konflik-konflik ketika berinteraksi. Oleh Norman (1986) ditegaskan bahwa konflik-konflik demikian bisa terjadi di karenakan adanya kesenjangan antara model mental (yakni: goals dan intensi)seseorang yang disebut variabel-variabel psikologikal dengan variabel-variabel fisikal (sistem). Narnun demikian, perbedaan atau kesenjangan antara tujuan dari pemakai dan sistim ini dapat diperkecil bila rancangan sistem dibuat berdasarkan data-data dari pemakai, misalnya kemampuan kognitif pemakai, tujuan yang ingin dicapai oleh pemakai, dan sebagainya.
Untuk hal tersebut Norman (1986) mencoba mengaplikasikan hasil risetnya dibidang cognitive science yang dikenal dengan istilah Cognitive Engineering. Melalui cognitive engineering ini kesenjangan akan diperkecil. Kesenjangan interaksi antara pemakai dan sistem tersebut digambarkan dengan dua buah gulfs (celah) yaitu the gulf of execution (celah eksekusi) dan thegulfofevaluation (celah evaluasi )
Agar celah tersebut tidak semakin jauh, maka kedua gulfs tersebut harus dijembatani sehingga terdapat kecocokan antara sistem yang ada dengan model mental pemakai. Kedua gulfs dijembatani dalam dua arah, dari arah sistem dijembatani dengan Evaluation Bridge, sedangkan dari arah sisi pemakai dijembatani dengan Execution Bridge.
Dapat disimak bahwa jembatan dari sisi pemakai (goals) ke sistem fisikal (physical system) diawali dengan formasi intensi pemakai yang relevan dengan sistem. Selanjutnya, pemakai menentukan langkah-langkah tindakan I khusus (action specification) yang tepat guna mengeksekusi sebarisan tindakan itu ~xecuting the action).
Melalui mekanisme antarmuka (interface mechanism), I-l~sekusi tindakan ini dijalankan untuk kemudian disampaikan ke sistem. Sistem Meresponnya, yang selanjutnya hasil respon tersebut (output), disampaikan Execution Bridai atau ditampilkan lagi kepada pemakai melalui piranti yang tersedia (monitor atau tampilan antarmuka). Jadi ada 4 komponen yang menjembatani dari sistem pemakai ke sistem fisikal, yakni formasi intensi, spesifikasi aksi, eksekusi aksi dan mekanisme antarmuka.
Sedangkan jembatan dari sisi sistem fisikal ke pemakai diawali dengan tampilan antarmuka (interface display) yang menampilkan output (keluaran) dari sistem. Output ini kemudian diinterpretasikan oleh pemakai melalui proses intemalnya (pengolahan persepsinya). Selanjutnya dilakukan evaluasi dengan membandingkan hasil interpretasi dari status sistem dengan goal dan intensi awal (original goal).
Tujuan dari HCI adalah untuk menghasilkan sistem yang bermanfaat (usable) dan aman (safe), artinya sistem tersebut dapat berfungsi dengan baik. Sistem tersebut bisa untuk mengembangkan dan meningkatkan keamanan (safety), utilitas (utility), ketergunaan (usability), efektifitas (efectiveness) dan efisiensinya (eficiency). Sistem yang dimaksud konteksnya tidak hanya pada perangkat keras dan perangkat lunak, tetapi juga mencakup lingkungan secara keseluruhan, baik itu lingkungan organisasi masyarakat kerja atau lingkungan keluarga. Sedangkan utilitas mengacu kepada fungsionalitas sistem atau sistem tersebut dapat meningkatkan efektifitas dan efesiensi kerjanya. Ketergunaan (usability) disini dimaksudkan bahwa sstem yang dibuat tersebut mudah digunakan dan mudah dipelajari baik secara individu ataupun kelompok.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa fokus perhatian HCI tidak hanya pada keindahan tampilannya saja atau hanya tertuju pada tampilan antarmukanya saja, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek pamakai, implementasi sistem rancangannya dan fenomena lingkungannya, dan lainnya. Misalnya, rancangan sistem itu harus memperhatikan kenyamanan pemakai, kemudahan dalam pemakaian, mudah untuk dipelajari.